.::|Pembelajaran | Karya Ilmiah | Metodologi Penelitian | Artikel | Skripsi | Tesis | Metodologi Penelitian | Statistik | Latihan-latihan |::.

Sabtu, 21 April 2012

PERAN PEGADAIAN DAN LEMBAGA KEUANGAN DALAM PEMBERDAYAAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT KECIL DAN PERMASALAHANNYA

PENDAHULUAN 
            Pada krisis ekonomi di  Indonesia  tahun 1997-1998, banyak Perusahaan berskala  besar  yang  jatuh  terpuruk  berujung  pada  kebangkrutan/pailit,  namun  tidak  demikian halnya untuk Usaha Micro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang formal maupun informal ternyata  sanggup  bertahan  dan  justru  segera  dapat  kembali  tumbuh  dan  berkembang.
Menurut data statistik populasi sektor UMKM mencapai 90,9% dari 42 juta unit usaha di Indonesia  (Prospek  Pembiayaan  Sektor  UMKM  2006; Ryan  Kiryanto;  Investor Daily tanggal  28  Desember  2005)    yang  pada  pasca  krisis  mampu  membuktikan  sebagai penopang perekonomian nasional, hal itu  tidak dapat disanggah lagi kebenarannya. Laju perkembangan  yang  terus  meningkat  secara  langsung  akan  memperkuat  struktur perekonomian nasional dan hal itu  terjadi karena adanya dukungan pendanaannya oleh lembaga keuangan baik  perbankan maupun  non  bank. Lembaga  keuangan  baik  yang berstatus  Badan  Usaha  Milik  Negara  (BUMN)  maupun  swasta mempunyai  peran strategis,  sebagai  agent  of  development  untuk  membangun perekonomian  yang  pada akhirnya turut serta meningkatkan kesejahteranaan masyarakat. Tidak dapat  dipungkiri  bahwa  sejalan  dengan  program  pemerintah  yang menetapkan  bahwa  mulai  tahun  2005  ditetapkan  sebagai  Keuangan  Mikro,  dimana sebagian energi dan keberpihakan lembaga keuangan diarahkan untuk memberdayakan sektor usaha mikro, maka dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, maka masing-masing  lembaga  keuangan  berkompetisi  dalam  penyaluran  dananya  untuk  membantu sektor UMKM. Banyak diantara BUMN yang sucses menyalurkan kreditnya, tetapi tidak sedikit yang  justru tidak mampu melaksanakan program  tersebut, walapun alokasi dana yang tersedia cukup melimpah. 
            Pegadaian  sebagai  salah  satu  BUMN, turut berpartisipasi  membantu  program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraaan masyarakat kecil/ menengah melalui jasa layanan kreditnya dengan jaminan gadai & fidusia. Peran Pegadaian selama ini  telah  dikenal  sebagai  mitranya  wong  cilik  (Rakyat  kecil)  dengan  motto layanan "mengatasi masalah tanpa masalah". Kesederhanaan prosedur dan persyaratan dalam perolehan  sumber  dana  menjadikan  masyarakat  lebih  tertarik  berhubungan  dengan  Pegadaian.Keberadaan  Pegadaian  tidak  disanksikan  lagi  karena  sudah  berpengalaman 105  tahun  dalam  melayani  penyaluran  kredit  untuk  memberdayakan  perekonomian masyarakat  kecil    terutama  disektor  informal  baik  yang  produktif  maupun  untuk konsumtif, dengan berbagai permasalahannya. 

MISI PERUSAHAAN
            Pegadaian  sebagai BUMN berbentuk Perusahaan Umum  (PERUM) mempunyai kedudukan strategis dalam membangun perekonomian masyarakat kecil/menengah, yaitu membantu Pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil/menengah melalui jasa penyaluran kredit atas dasar hukum gadai dan usaha lain yang menguntungkan (pasal 7  P.P.103/2000)  hal  ini  sebagai  pelaksanaan  dari  ketentuan  pasal  36 U.U.No.19/2003 tentang BUMN  bahwa maksud dan  tujuan  PERUM  adalah "Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan  jasa barangdan/atau jasa yang berkuallitas dengan harga yang  terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat" .
            Sebagai  Perusahaan yang  berbentuk PERUM  dibebani  tugas ganda  yaitu Public service obligation (PSO) dan profit oriented (pasal 6 P.P.103/2000), dua tugas tersebut bertolak  belakang disatu sisi mengharuskan untuk memberikan pelayanan kemanfaatan umum kepada masyarakat dengan mengabaikan aspek bisnis, namun disi lain ditugasi oleh Pemerintah agar Perusahaan harus menghasilkan laba. Menurut penjelasan pasal 36 U.U.No.19/2003  proporsi  tugas  tersebut  lebih dititik  beratkan  kepada  pelayanan  demi kemanfaatan  umum dari pada mencari  laba, sehingga  apabila misi  PSO ini  dijalankan secara  konsekwen  membawa  kewajiban  bagi  Pemerintah  untuk  menyediakan  dana secukupnya  untuk melaksanakan fungsi tersebut. Kondisi dilapangan ternyata tidak demikian  Pemerintah tidak berkehendak memberikan tambahan  modal  (modal penyertaan) padahal Perusahaan sangat membutuhkan tambahan permodalan mengingat perkembangan usahanya yang terus meningkat, disisi lain Pemerintah menghendaki agar Perusahaan  selalu  terus  menciptakan  dan  meningkatkan  nilai (value  creation  and improving) agar Perusahaan mampu meraih  keuntungan (profitabilitas) yang sebesar-besarnya untuk disumbangkan  devidennya kepada Pemerintah, mengingat target deviden tahun 2006 ini untuk seluruh BUMN (144 BUMN) mencapai 23,5 trilliun rupiah  meningkat  100%  dari  tahun  2005  (Arah  Kebijakan BUMN  2006  -  2009;  Sunarsip;  Investor Daily; tanggal 12 Januari 2006).
            Apabila  kedua  fungsi  tersebut  dilakukan  secara  konsekwen  oleh  BUMN  yang berbentuk PERUM maka dapat dibayangkan bahwa betapa beratnya mengelola sebuah perusahaan yang dibebani porsi  tugas  sosial lebih besar  tetapi harus menghasilkan  laba untuk  disetorkan  kepada  Pemerintah.  Kebijakan  yang  ditempuh Pegadaian dalam mengemban tugas tersebut adalah dengan menerapkan kebijakan subsidi silang, artinya disatu sisi Pegadaian melaksanakan PSO untuk kemanfaatan umum dengan konsekwensi ditandai  dengan  banyaknya  kantor  cabang  khususnya  di  P.Jawa  yang merugi.  Untuk menutup  kerugian  atas pelayanan umum  tersebut dibiayai  dengan kegiatan usaha  yang dapat memberi keuntungan. Konkritnya selama ini Pegadaian menyalurkan kredit dengan skim  jaminan  gadai  dan  fidusia  untuk  skim  kredit  jaminan  gadai  yang  nilainya  kecil (golongan  A)  yaitu  pinjaman  Rp. 20.000,-  sampai  dengan  Rp.  150.000,-  sebenarnya merugi karena beban biaya operasional lebih besar dari pendapatan, namun hal ini bisa ditutup oleh pendapatan dari penyaluran kredit gadai golongan B, C dan D, kredit kreasi /krasida   dengan  nilai  pinjaman  sampai  dengan  Rp.  50.000.000,-  yang menghasilkan keuntungan  (surplus). 

KONDISI OPERASIONAL
            Untuk menjalankan misi layanan tersebut, Pegadaian cukup berhasil apabila dilihat dari  indikator  perkembangan  out  letnya hingga  saat  ini  telah  mencapai  sekitar  800 kantor  cabang  tersebar  diseluruh  pelosok  tanah  air  demikian  pula  apabila  dilihat  dari pencapaian omzet di mana tahun 2005 mencapai 13, 3  triliun  rupiah  dan untuk  tahun 2006  ditargetkan  mencapai  14,  8  triliun  rupiah.  Dilihat  dari  jumlah  angka  tersebut diperlukan modal kerja  sebesar 4,73  trilliun  rupiah, padahal modal sendiri  sekitar 513 milyard rupiah ini berarti bahwa komposisi permodalan Pegadaian masih didominasi dari pinjaman  utang.  Dalam  memenuhi  kebutuhan  permodalan  tersebut  sesuai  dengan ketentuan pasal 12 P.P.103  tahun 2000, Pegadaian diberikan kewenangan menerbitkan obligasi  (surat  utang)  dalam  rangka  pengerahan  dana  masyarakat  dan  untuk pelaksanaannya  diperlukan  izin  dari  Pemerintah  selaku  Pemegang  saham  tunggal.
Disamping dengan menerbitkan obligasi juga dilakukan peminjaman  rekening koran ke lembaga perbankan untuk mengatasi kebutuhan permodalan yang  setiap  tahunnya  terus meningkat. Permasalahan permodalan  ini  sangat komplek., karena perbandingan modal sendiri dengan modal pinjaman (Debt equity Ratio) saat  ini  yang hampir mencapai 1 berbanding  5 dan  tentunya  akan  terus meningkat  seiring  dengan perkembangan  usaha Pegadaian. Dengan semakin besar pinjaman permodalan sebenarnya mempunyai risiko semakin  tinggi  pula,  yang  apabila  tidak mampu memenuhi  kewajiban  utangnya  tidak menutup kemungkinan pihak kreditur dapat melakukan  tuntutan kepailitan. 
            Konsekwensi  modal  kerja  dari  pinjaman  berarti  harus mampu menjual  dengan harga  yang  relative tinggi apabila ingin memperoleh margin  keuntungan,  padahal Pegadaian  dibebani  PSO  yang  harus  menjual  dengan  harga  rendah  terjangkau oleh masyarakat kecil lemah ekonominya. Apabila  porsi PSO  ini  lebih besar  sebagaimana diamanatkan pasal 36 U.U.No.19/2003 bisa dipastikan suatu ketika Pegadaian dapat dipailitkan oleh Investor bilamana tidak mampu membayar kewajibannya pada waktunya.
Permasalahan permodalan ini tiada kunjung berakhir, karena Pemerintah belum mampu  memberikan suntikan modal penyertaan sebagai tambahan modal kerja. Padahal apabila dilihat dari anggaran  dasarnya  (pasal  7  P.P.No.103/2000)  maka  misi  Pegadaian sebenarnya dapat dikatakan  sebagai  agent of development yaitu membantu Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan perekonomian  rakyat kecil. Oleh karena  itu  sudah  selayaknya  mendapat  perhatian  tambahan  modal  penyertaan  agar Pegadaian dapat benar-benar menjalankan fungsi Public Service obligation (PSO) secara benar dan konsisten. 

Undang-Undang Anti Monopoli
            Dibukanya era perdagangan bebas dengan terbitnya U.U.No.5 tahun 1999 tentang Larangan  Praktek Monopoli  dan  Persaingan  Usaha  Tidak  Sehat,  maka  setiap  orang mempunyai kebebasan melakukan kegiatan dalam berbagai  jenis usaha  termasuk usaha jasa  gadai  kecuali  yang bertentangan    dengan  hukum  yang berlaku. Dalam U.U.No.5 tahun 1999  secara  tegas  melarang  praktek  monopoli  termasuk  yang  dilakukan oleh BUMN. Undang-undang tersebut membawa iklim kondusif bagi Para pelaku usaha untuk menjaga  agar  dapat  tercipta  persaingan  usaha  yang  sehat.  Persaingan  perlu  dijaga eksistensinya  agar  tercipta  efisiensi  baik  oleh  Pengusaha maupun masyarakat  sebagai konsumen.  Dengan  persaingan  akan  diperoleh  harga  yang  murah  dengan  kualitas barang/jasa yang baik. Larangan praktek monopoli diantaranya dalam bentuk Larangan melakukan kegiatan- kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopli dan atau persaingan  usaha  tidak  sehat yaitu melakukan penguasaan atas produksi  dan atau pemasaran barang atau jasa (pasal 17 ayat (1). Dalam ayat (2) pasal 17 ditentukan bahwa Pelaku Usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang apabila barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya atau mengakibatkan  Pelaku  usaha  lain  tidak dapat masuk kedalam persaingan  usaha barang dan atau jasa yang sama. Namun demikian pengecualian  praktek monopoli  ini dapat saja dilakukan oleh suatu lembaga tertentu asalkan ditunjuk oleh Pemerintah yang pelaksanaannya  harus ditetapkan  dalam  bentuk  undang-undang  dengan  mendapat persetujuan DPR.
            Adanya Undang-undang No.5  tahun 1999 merupakan  tantangan bagi Pegadaian karena selama ini bisa dikatakan sebagai pemenikmat monopoli. Namun apabila dikaji lebih dalam sebenarnya Perum Pegadaian tidak  berkedudukan  sebagai  pemegang monopoli,  karena  telah  banyak lembaga  perbankan/jasa  keuangan  lain  dalam menjalankan usahanya yang  menerapkan sistem gadai dalam skim kreditnya. Walaupun untuk kondisi sekarang masih sebagai market leader, tetapi rasa was-was kalah bersaing dengan pelaku pasar lainnya itu tetap ada apalagi bilamana formula usaha jasa gadai ini juga  diberikan  kepada  pihak  swsata  sebagaimana  rencana  Pemerintah  hendak meluncurkan Undang-undang jasa gadai. 
RUU JASA GADAI
            Pengaturan pegadaian selama  ini masih mengacu pada Pandhuis Reglement. No.81  tahun  1928  dimana  penyelenggaraannya  masih  dilakukan  oleh  Pemerintah sedangkan untuk pihak  swasta belum  ada pengaturannya, padahal  selama  ini  telah  ada lembaga keuangan  lain yang  telah mempraktekan usaha gadai. Kondisi demikian perlu ditata kembali seiring dengan  pemberlakuan     U.U.No.5  tahun  1999  dan  untuk mendorong  kepada  anggota  masyarakat  untuk  membuka  usaha  jasa  gadai  sebagai alternatif  sumber pembiayaan dan pendanaan. Adanya RUU Jasa gadai  tersebut secara langsung merupakan ancaman bagi Pegadaian, karena tidak menutup kemungkinan akan tumbuh menjamur  diberbagai  tempat.  Persaingan  akan  semakin  ketat  siapa  kuat  akan
menjadi pemenangnya, dan  tidak menutup kemungkinan pihak Swasta akan mengambil alih posisinya (market leader), karena unggul dalam pelayanan terutama dari segi harga yang lebih rendah dari  Pegadaian. Dalam RUU  tersebut  ditentukan  bahwa  bentuk hukumnya adalah Perseroan  terbatyas (PT) dan Perusahaan Umum  (Perum). Status PT sebagaimana  dimaksud  dalam  U.U.No.1  tahun  1995  didirikan  dengan  tujuan  untuk mencari  keuntungan  semata,  berbeda  halnya  dengan  Perum  yang  juga  dibebani  tugas sosial.  Tidaklah  fair  apabila  kedua  badan  hukum  tersebut  harus  berkompetisi  dalam lingkup bisnis  yang  sama.  Status  PT  secara  teoritis  akan  lebih  efisien  pengelolaannya karena dapat berkonsentrasi penuh dalam mencari  keuntungan, berbeda halnya dengan status Perum yang notabene adalah Perusahaan milik negara (BUMN). Untuk mengatasi hal  itu  idealnya  memberikan  kebijakan  khusus  apabila  Pegadaian masih dikehendaki berstatus Perum, yaitu dengan memberikan dukungan permodalan yang memadai untuk menjalankan fungsi sosialnya itu.
            Dalam  RUU  Jasa  Gadai  ditentukan  bahwa  besanya  Sewa Modal  (tarif  bunga) ditentukan sendiri oleh Perusahaan, hal ini berarti bahwa setiap badan usaha mempunyai  kebabasan  dan  pasarlah  yang  akan  memberikan  penilaian  mampu  tidaknya  dalam persaingan. Setidaknya Pemodal kuat  akan menawarkan  jasanya  dengan  harga relatif murah sehingga kondisi demikian akan menyulitkan bagi Perum untuk bersaing. Dengan Perusahaan  Swasta  pemodal  kuat.  Posisi  Perum  sangat  dilematis,  disatu  pihak  harus berani bersaing disisi  lain kondisi permodalannya kurang mendukung. Bila Pemerintah konsisten  sebagai  regulator  dan  sebagai  player  (Pelaku  bisnis)  tentunya  juga  harus konsisten dan  fair  dalam memperlakukan  setiap Badan usaha  termasuk  yang berstatus BUMN dengan memberikan kondisi dan tugas yang sama, atau bila tetap dengan kondisi semula diberikan bantuan penyertaan rmodal yang memadai.
            Dalam  sistem  gadai  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  1150  KUHPerdata, merupakan  hak  kebendaan    kreditur  terhadap  benda  bergerak  yang  menjadi  obyek jaminan.  Kreditur  mempunyai  hak  preference  untuk  mengambil  pelunasan  secara didahulukan  dari kreditur lainnya apabila pihak debitur ingkar janji  tidak melaksanakan pembayaran  utangnya. Penyerahan  barang  sebagai  obyek  jaminan  pada  umumnya dilakukan dari tangan ke tangan, yaitu penyerahan (levering) secara kontan dan konkriet dari pemberi jaminan (debitur) kepada penerima jaminan (kreditur).  Selama ini Pemberi jaminan dianggap  sebagai pemilik barang  (pasal 1977  ayat  (2) KUHPerdata) padahal dalam praktek  tidak  selalu demikian. Pelaksanaan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata tersebut masih rawan terhadap unsur pidana, karena sifatnya anggapan  sepanjang tidak ada  pihak  lain  yang  dapat  membuktikan  sebaliknya.  Dalam  kasus  kriminal  yang  menimpa  Pegadaian,  sering  dituduh  sebagai  penadah  (pasal  480 KUHPidana)  karena menerima barang jaminan berasal dari hasil kejahatan. Dalam praktek tidak semua barang bergerak  didukung oleh  surat  bukti  kepemilikan, kecuali  kendaraan  (motor/mobil) ada BPKBnya,  lain  halnya  dengan  bukti  kepemilikan  benda  tetap  (tanah/bangunan)  yang selalu didukung dengan sertifikat kepemilikan. 
            Dengan  lahirnya  Undang-undang  No..42  tahun  1999  tentang  Jaminan  Fidusia membawa  keluwean  dalam  hukum  jaminan,  terutama  gadai,  barang  tidak  perlu  lagi diserahkan  kepada  Kreditur  tetapi  cukup  hak  kepemilikannya  saja  sedangkan  obyek jaminan  tetap  dikuasai  oleh  Debitur.  Untuk  melindungi  kepentingan  kreditur,  maka Debitur  diwajibkan  melakukan  perawatan  obyek  jaminan  dan  adanya  sanksi  pidana bilamana pihak Debitur menyalahgunakan / mengalihkan obyek jaminan. Sistem jaminan fidusia  ini diterapkan oleh Pegadaian dalam   skim kredit kreasi  (kredit angsuran sistem fidusia),  yang  ternyata  memperoleh  tanggapan  positip  dari  masyarakat.  Dana  yang disalurkan berasal dari surat utang pemerintah rekening 005 sebesar 200 milyard rupiah  Dalam waktu kurang dari  setahun sudah  terserap 400 milyard  rupiah  lebih, karena tarif bunganya  relatif murah  yaitu 12%  setahun. Untuk mendanai  kredit  kreasi  ini  terpaksa Pegadaian  harus  mencari  dana  tambahan dari  lembaga  perbankan  yang  tarif  bunga bersifat komersiel. Secara bisnis dana talangan dari lembaga perbankan tersebut rugi bila diperuntukkan pendanaan kredit  kreasi,  namun  karena dalam  rangka mengemban misi perusahaan maka apa boleh buat hal  terjadi. Dilapangan  ternyata Kredit yang ditujukan untuk  sektor usaha mikro  formal/informal    ini  ternyata mampu bersaing dengan  paket
kredit  UMKM  yang  disalurkan  oleh  lembaga  perbankan  maupun  lembaga  keuangan BUMN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar kredit UMKM masih potensial untuk  dikembangkan  sebagai  amanat  dan  perwujudan  dari  misi  perusahaan  yang digariskan oleh pemerintah.

PENUTUP
            Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pemerintah menugaskan  BUMN  yang  berbentuk  Perusahaan  Umum  (Perum)  untuk  turut  serta  membantu Pemerintah  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  dengan  menyelenggarakan  usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan  barang dan/atau jasa yang berkuallitas dengan harga yang  terjangkau  oleh  masyarakat  berdasarkan  prinsip pengelolaan  perusahaan  yang  sehat.  Tugas  tersebut diujudkan  sebagai  public  service obligation  (PSO)  memberikan  pelayanan umum kepada masyarakat dan mencari keuntungan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 
            Pegadaian  sebagai  BUMN  berstatus  Perusahaan  Umum  (Peraturan  pemerintah No.103 tahun 2000) menjalankan misinya melalui pelayanan penyaluran kredit dengan jamninan gadai & fidusia kepada masyarakat terutama golongan kecil dan menengah baik untuk UMKM baik yang berstatus  formal maupun  informal. Kebijakan yang dilakukan dengan menerapkan  subsiidi silang, artinya pelayanan kredit gol.A nilai pinjaman kecil dengan bunga  rendah disubsidi  silang oleh skim kredit gadai dengan  tarif bunga  relatif lebih besar dari gol.A dan juga dari kredit kreasi .
            Sebagai  risikonya  banyak  kantor  cabang  yang  mengalami  defisit  karena  beban biaya  operasional  tinggi  dan  tidak  dapat melaksanakan  kedua  misi  PSO  dan mencari keuntungan  secara  proporsional  karena  adanya  kewajiban  bahwa  Perusahaan  harus menghasilkan  laba  untuk  disetor  kepada  Pemerintah  sebagai  deviden  penyumbang pendapatan  negara. Konsekwensi pelaksanaan Undang-undang No. 5  tahun 1999 dan  terkait dengan pemikiran  Pemerintah  untuk  menyusun  RUU  Jasa  Gadai,  menempatkan  Pegadaian dalam posisi sulit, disatu pihak dengan status Perusahaan Umum (Perum) bilamana tidak dipenuhi  permodalan  yang  memadai  dari  Pemerintah  maka  dikhawatirkan  akan  tidak mampu  berkompetisi  penuh  dengan  Perusahaan  lain  pemodal  kuat  yang  berstatus Perseroan  terbatas (PT).
            Dalam kredit dengan jaminan gadai sering dihadapkan pada kasus hukum sebagai Penadah  (Pasal 480 KUHPidana) yaitu menerima  jaminan dari hasil kejahatan, karena obyek  jaminan benda bergerak pada umumnya  tidak didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat. Hal ini berbeda dengan jaminan fidusia (Undang-undang No. 42  tahun 1999) pihak  kreditur memperoleh perlindung hukum yang kuat,  karena  ada ketentuan pidana  bilamana  pihak Pemilik  barang  (debitur)  menyalahgunakan  obyek  jaminan  atau  memberikan keterangan palsu mengenai obyek jaminan.
Mengingat Pegadaian mempunyai  peranan penting  dalam membantu  Pemerintah untuk meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  kecil  maka  sebagai  konsekwensi dari  tugas tersebut,  Pemerintah  mempunyai  kewajiban  membantu  operasional maupun keuangan/permodalannyanya agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan.

DAFTAR PUSTAKA
1.  Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 
2.  Undang-undang  Nomor  5  tahun  1999  tentang  Larangan  Praktek  Monopoli  Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3.  Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia.
4.  Undang-undang Nomor 19  tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
5.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  103  tahun  2000  tentang  Perusahaan  umum  (Perum) Pegadaian.
6.  Kitab Undang-Undang hukum Perdata.
7.  Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
8.  Kliping koran  : 
·     Prospek Pembiayaan Sektor UMKM 2006; Investor Daily, 28 Desember 2005.
·     Arah Kebijakan BUMN 2006 - 2009; Sunarsip, Invenstor Daily,  12 Januari 2006.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar Anda