PENDAHULUAN
Pada krisis ekonomi di Indonesia
tahun 1997-1998, banyak Perusahaan berskala besar
yang jatuh terpuruk
berujung pada kebangkrutan/pailit, namun
tidak demikian halnya untuk Usaha
Micro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang formal maupun informal ternyata sanggup
bertahan dan justru
segera dapat kembali
tumbuh dan berkembang.
Menurut data statistik
populasi sektor UMKM mencapai 90,9% dari 42 juta unit usaha di Indonesia (Prospek
Pembiayaan Sektor UMKM
2006; Ryan Kiryanto; Investor Daily tanggal 28
Desember 2005) yang
pada pasca krisis
mampu membuktikan sebagai penopang perekonomian nasional, hal
itu tidak dapat disanggah lagi
kebenarannya. Laju perkembangan
yang terus meningkat
secara langsung akan
memperkuat struktur perekonomian
nasional dan hal itu terjadi karena
adanya dukungan pendanaannya oleh lembaga keuangan baik perbankan maupun non
bank. Lembaga keuangan baik
yang berstatus Badan Usaha
Milik Negara (BUMN)
maupun swasta mempunyai peran strategis, sebagai
agent of development
untuk membangun perekonomian yang
pada akhirnya turut serta meningkatkan kesejahteranaan masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa
sejalan dengan program
pemerintah yang menetapkan bahwa
mulai tahun 2005
ditetapkan sebagai Keuangan
Mikro, dimana sebagian energi dan
keberpihakan lembaga keuangan diarahkan untuk memberdayakan sektor usaha mikro,
maka dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, maka masing-masing lembaga
keuangan berkompetisi dalam
penyaluran dananya untuk
membantu sektor UMKM. Banyak diantara BUMN yang sucses menyalurkan kreditnya,
tetapi tidak sedikit yang justru tidak
mampu melaksanakan program tersebut,
walapun alokasi dana yang tersedia cukup melimpah.
Pegadaian sebagai
salah satu BUMN, turut berpartisipasi membantu
program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraaan masyarakat kecil/
menengah melalui jasa layanan kreditnya dengan jaminan gadai & fidusia.
Peran Pegadaian selama ini telah dikenal
sebagai mitranya wong
cilik (Rakyat kecil)
dengan motto layanan "mengatasi
masalah tanpa masalah". Kesederhanaan prosedur dan persyaratan dalam
perolehan sumber dana
menjadikan masyarakat lebih
tertarik berhubungan dengan Pegadaian.Keberadaan Pegadaian
tidak disanksikan lagi
karena sudah berpengalaman 105 tahun
dalam melayani penyaluran
kredit untuk memberdayakan
perekonomian masyarakat
kecil terutama disektor
informal baik yang
produktif maupun untuk konsumtif, dengan berbagai
permasalahannya.
MISI PERUSAHAAN
Pegadaian sebagai BUMN berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) mempunyai kedudukan strategis dalam
membangun perekonomian masyarakat kecil/menengah, yaitu membantu Pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil/menengah melalui jasa penyaluran
kredit atas dasar hukum gadai dan usaha lain yang menguntungkan (pasal 7 P.P.103/2000)
hal ini sebagai
pelaksanaan dari ketentuan
pasal 36 U.U.No.19/2003 tentang
BUMN bahwa maksud dan tujuan
PERUM adalah
"Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan jasa barangdan/atau jasa yang
berkuallitas dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
yang sehat" .
Sebagai Perusahaan yang berbentuk PERUM dibebani
tugas ganda yaitu Public service obligation (PSO) dan
profit oriented (pasal 6 P.P.103/2000), dua tugas tersebut bertolak belakang disatu sisi mengharuskan untuk
memberikan pelayanan kemanfaatan umum kepada masyarakat dengan mengabaikan
aspek bisnis, namun disi lain ditugasi oleh Pemerintah agar Perusahaan harus
menghasilkan laba. Menurut penjelasan pasal 36 U.U.No.19/2003 proporsi
tugas tersebut lebih dititik
beratkan kepada pelayanan
demi kemanfaatan umum dari pada
mencari laba, sehingga apabila misi
PSO ini dijalankan secara konsekwen
membawa kewajiban bagi Pemerintah untuk
menyediakan dana secukupnya untuk melaksanakan fungsi tersebut. Kondisi
dilapangan ternyata tidak demikian
Pemerintah tidak berkehendak memberikan tambahan modal
(modal penyertaan) padahal Perusahaan sangat membutuhkan tambahan
permodalan mengingat perkembangan usahanya yang terus meningkat, disisi lain
Pemerintah menghendaki agar Perusahaan
selalu terus menciptakan
dan meningkatkan nilai (value creation
and improving) agar Perusahaan mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang
sebesar-besarnya untuk disumbangkan
devidennya kepada Pemerintah, mengingat target deviden tahun 2006 ini
untuk seluruh BUMN (144 BUMN) mencapai 23,5 trilliun rupiah meningkat
100% dari tahun
2005 (Arah Kebijakan BUMN 2006
- 2009; Sunarsip; Investor Daily; tanggal 12 Januari 2006).
Apabila kedua
fungsi tersebut dilakukan
secara konsekwen oleh
BUMN yang berbentuk PERUM maka
dapat dibayangkan bahwa betapa beratnya mengelola sebuah perusahaan yang
dibebani porsi tugas sosial lebih besar tetapi harus menghasilkan laba untuk
disetorkan kepada Pemerintah.
Kebijakan yang ditempuh Pegadaian dalam mengemban tugas
tersebut adalah dengan menerapkan kebijakan subsidi silang, artinya disatu sisi
Pegadaian melaksanakan PSO untuk kemanfaatan umum dengan konsekwensi
ditandai dengan banyaknya
kantor cabang khususnya
di P.Jawa yang merugi.
Untuk menutup kerugian atas pelayanan umum tersebut dibiayai dengan kegiatan usaha yang dapat memberi keuntungan. Konkritnya
selama ini Pegadaian menyalurkan kredit dengan skim jaminan
gadai dan fidusia
untuk skim kredit
jaminan gadai yang
nilainya kecil (golongan A)
yaitu pinjaman Rp. 20.000,-
sampai dengan Rp. 150.000,-
sebenarnya merugi karena beban biaya operasional lebih besar dari
pendapatan, namun hal ini bisa ditutup oleh pendapatan dari penyaluran kredit
gadai golongan B, C dan D, kredit kreasi /krasida dengan
nilai pinjaman sampai
dengan Rp. 50.000.000,-
yang menghasilkan keuntungan (surplus).
KONDISI OPERASIONAL
Untuk menjalankan misi layanan tersebut, Pegadaian cukup berhasil apabila
dilihat dari indikator perkembangan
out letnya hingga saat
ini telah mencapai
sekitar 800 kantor cabang
tersebar diseluruh pelosok
tanah air demikian
pula apabila dilihat
dari pencapaian omzet di mana tahun 2005 mencapai 13, 3 triliun
rupiah dan untuk tahun 2006
ditargetkan mencapai 14,
8 triliun rupiah.
Dilihat dari jumlah
angka tersebut diperlukan modal
kerja sebesar 4,73 trilliun
rupiah, padahal modal sendiri
sekitar 513 milyard rupiah ini berarti bahwa komposisi permodalan
Pegadaian masih didominasi dari pinjaman
utang. Dalam memenuhi
kebutuhan permodalan tersebut
sesuai dengan ketentuan pasal 12
P.P.103 tahun 2000, Pegadaian diberikan
kewenangan menerbitkan obligasi
(surat utang) dalam
rangka pengerahan dana
masyarakat dan untuk pelaksanaannya diperlukan
izin dari Pemerintah
selaku Pemegang saham
tunggal.
Disamping dengan menerbitkan
obligasi juga dilakukan peminjaman
rekening koran ke lembaga perbankan untuk mengatasi kebutuhan permodalan
yang setiap tahunnya
terus meningkat. Permasalahan permodalan
ini sangat komplek., karena
perbandingan modal sendiri dengan modal pinjaman (Debt equity Ratio) saat
ini yang hampir mencapai 1
berbanding 5 dan tentunya akan
terus meningkat seiring dengan perkembangan usaha Pegadaian. Dengan semakin besar
pinjaman permodalan sebenarnya mempunyai risiko semakin tinggi
pula, yang apabila
tidak mampu memenuhi
kewajiban utangnya tidak menutup kemungkinan pihak kreditur
dapat melakukan tuntutan
kepailitan.
Konsekwensi modal
kerja dari pinjaman
berarti harus mampu menjual dengan harga
yang relative tinggi apabila
ingin memperoleh margin keuntungan, padahal Pegadaian dibebani
PSO yang harus
menjual dengan harga
rendah terjangkau oleh masyarakat
kecil lemah ekonominya. Apabila
porsi PSO ini lebih besar
sebagaimana diamanatkan pasal 36 U.U.No.19/2003 bisa dipastikan suatu
ketika Pegadaian dapat dipailitkan oleh Investor bilamana tidak mampu membayar
kewajibannya pada waktunya.
Permasalahan permodalan ini tiada kunjung berakhir, karena Pemerintah
belum mampu memberikan suntikan modal
penyertaan sebagai tambahan modal kerja. Padahal apabila dilihat dari anggaran dasarnya
(pasal 7 P.P.No.103/2000) maka
misi Pegadaian sebenarnya dapat
dikatakan sebagai agent of development yaitu membantu
Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan perekonomian rakyat kecil. Oleh karena itu
sudah selayaknya mendapat
perhatian tambahan modal
penyertaan agar Pegadaian dapat
benar-benar menjalankan fungsi Public
Service obligation (PSO) secara benar dan konsisten.
Undang-Undang Anti Monopoli
Dibukanya era perdagangan bebas dengan
terbitnya U.U.No.5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat,
maka setiap orang mempunyai kebebasan melakukan kegiatan
dalam berbagai jenis usaha termasuk usaha jasa gadai
kecuali yang bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Dalam
U.U.No.5 tahun 1999 secara tegas
melarang praktek monopoli
termasuk yang dilakukan oleh BUMN. Undang-undang tersebut
membawa iklim kondusif bagi Para pelaku usaha untuk menjaga agar
dapat tercipta persaingan
usaha yang sehat.
Persaingan perlu dijaga eksistensinya agar
tercipta efisiensi baik
oleh Pengusaha maupun
masyarakat sebagai konsumen. Dengan
persaingan akan diperoleh
harga yang murah
dengan kualitas barang/jasa yang
baik. Larangan praktek monopoli diantaranya dalam bentuk Larangan melakukan
kegiatan- kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopli dan atau
persaingan usaha tidak
sehat yaitu melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau jasa (pasal 17
ayat (1). Dalam ayat (2) pasal 17 ditentukan bahwa Pelaku Usaha patut diduga
atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
apabila barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya atau
mengakibatkan Pelaku usaha
lain tidak dapat masuk kedalam
persaingan usaha barang dan atau jasa
yang sama. Namun demikian pengecualian
praktek monopoli ini dapat saja
dilakukan oleh suatu lembaga tertentu asalkan ditunjuk oleh Pemerintah yang pelaksanaannya harus ditetapkan dalam
bentuk undang-undang dengan
mendapat persetujuan DPR.
Adanya Undang-undang No.5 tahun 1999 merupakan tantangan bagi Pegadaian karena selama ini
bisa dikatakan sebagai pemenikmat monopoli. Namun apabila dikaji lebih dalam
sebenarnya Perum Pegadaian tidak
berkedudukan sebagai pemegang monopoli, karena
telah banyak lembaga perbankan/jasa keuangan
lain dalam menjalankan usahanya
yang menerapkan sistem gadai dalam skim
kreditnya. Walaupun untuk kondisi sekarang masih sebagai market leader, tetapi
rasa was-was kalah bersaing dengan pelaku pasar lainnya itu tetap ada apalagi
bilamana formula usaha jasa gadai ini juga
diberikan kepada pihak
swsata sebagaimana rencana
Pemerintah hendak meluncurkan Undang-undang
jasa gadai.
RUU JASA GADAI
Pengaturan pegadaian selama ini masih mengacu pada Pandhuis Reglement.
No.81 tahun 1928
dimana penyelenggaraannya masih
dilakukan oleh Pemerintah sedangkan untuk pihak swasta belum
ada pengaturannya, padahal
selama ini telah
ada lembaga keuangan lain yang telah mempraktekan usaha gadai. Kondisi
demikian perlu ditata kembali seiring dengan
pemberlakuan U.U.No.5 tahun
1999 dan untuk mendorong kepada
anggota masyarakat untuk
membuka usaha jasa
gadai sebagai alternatif sumber pembiayaan dan pendanaan. Adanya RUU
Jasa gadai tersebut secara langsung
merupakan ancaman bagi Pegadaian, karena tidak menutup kemungkinan akan tumbuh
menjamur diberbagai tempat.
Persaingan akan semakin
ketat siapa kuat
akan
menjadi
pemenangnya, dan tidak menutup
kemungkinan pihak Swasta akan mengambil alih posisinya (market leader), karena unggul dalam pelayanan terutama dari segi
harga yang lebih rendah dari Pegadaian.
Dalam RUU tersebut ditentukan
bahwa bentuk hukumnya adalah
Perseroan terbatyas (PT) dan Perusahaan
Umum (Perum). Status PT sebagaimana dimaksud
dalam U.U.No.1 tahun
1995 didirikan dengan
tujuan untuk mencari keuntungan
semata, berbeda halnya
dengan Perum yang
juga dibebani tugas sosial.
Tidaklah fair apabila
kedua badan hukum
tersebut harus berkompetisi
dalam lingkup bisnis yang sama.
Status PT secara
teoritis akan lebih
efisien pengelolaannya karena
dapat berkonsentrasi penuh dalam mencari
keuntungan, berbeda halnya dengan status Perum yang notabene adalah
Perusahaan milik negara (BUMN). Untuk mengatasi hal itu
idealnya memberikan kebijakan
khusus apabila Pegadaian masih dikehendaki berstatus Perum,
yaitu dengan memberikan dukungan permodalan yang memadai untuk menjalankan fungsi
sosialnya itu.
Dalam RUU Jasa Gadai
ditentukan bahwa besanya
Sewa Modal (tarif bunga) ditentukan sendiri oleh Perusahaan,
hal ini berarti bahwa setiap badan usaha mempunyai kebabasan
dan pasarlah yang
akan memberikan penilaian
mampu tidaknya dalam persaingan. Setidaknya Pemodal
kuat akan menawarkan jasanya
dengan harga relatif murah
sehingga kondisi demikian akan menyulitkan bagi Perum untuk bersaing. Dengan
Perusahaan Swasta pemodal
kuat. Posisi Perum
sangat dilematis, disatu
pihak harus berani bersaing
disisi lain kondisi permodalannya kurang
mendukung. Bila Pemerintah konsisten
sebagai regulator dan
sebagai player (Pelaku
bisnis) tentunya juga
harus konsisten dan fair dalam memperlakukan setiap Badan usaha termasuk
yang berstatus BUMN dengan memberikan kondisi dan tugas yang sama, atau
bila tetap dengan kondisi semula diberikan bantuan penyertaan rmodal yang
memadai.
Dalam sistem
gadai sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1150
KUHPerdata, merupakan hak kebendaan
kreditur terhadap benda
bergerak yang menjadi
obyek jaminan. Kreditur mempunyai
hak preference untuk
mengambil pelunasan secara didahulukan dari kreditur lainnya apabila pihak debitur
ingkar janji tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Penyerahan barang
sebagai obyek jaminan
pada umumnya dilakukan dari
tangan ke tangan, yaitu penyerahan (levering)
secara kontan dan konkriet dari pemberi jaminan (debitur) kepada penerima
jaminan (kreditur). Selama ini Pemberi
jaminan dianggap sebagai pemilik
barang (pasal 1977 ayat
(2) KUHPerdata) padahal dalam praktek
tidak selalu demikian. Pelaksanaan
ketentuan pasal 1977 KUHPerdata tersebut masih rawan terhadap unsur pidana,
karena sifatnya anggapan sepanjang tidak
ada pihak lain
yang dapat membuktikan
sebaliknya. Dalam kasus
kriminal yang menimpa
Pegadaian, sering dituduh
sebagai penadah (pasal
480 KUHPidana) karena menerima
barang jaminan berasal dari hasil kejahatan. Dalam praktek tidak semua barang
bergerak didukung oleh surat
bukti kepemilikan, kecuali kendaraan
(motor/mobil) ada BPKBnya,
lain halnya dengan
bukti kepemilikan benda
tetap (tanah/bangunan) yang selalu didukung dengan sertifikat
kepemilikan.
Dengan lahirnya
Undang-undang No..42 tahun
1999 tentang Jaminan
Fidusia membawa keluwean dalam
hukum jaminan, terutama
gadai, barang tidak
perlu lagi diserahkan kepada
Kreditur tetapi cukup
hak kepemilikannya saja
sedangkan obyek jaminan tetap
dikuasai oleh Debitur.
Untuk melindungi kepentingan
kreditur, maka Debitur diwajibkan
melakukan perawatan obyek
jaminan dan adanya
sanksi pidana bilamana pihak
Debitur menyalahgunakan / mengalihkan obyek jaminan. Sistem jaminan
fidusia ini diterapkan oleh Pegadaian dalam skim kredit kreasi (kredit angsuran sistem fidusia), yang
ternyata memperoleh tanggapan
positip dari masyarakat.
Dana yang disalurkan berasal dari
surat utang pemerintah rekening 005 sebesar 200 milyard rupiah Dalam waktu kurang dari setahun sudah
terserap 400 milyard rupiah lebih, karena tarif bunganya relatif murah
yaitu 12% setahun. Untuk
mendanai kredit kreasi
ini terpaksa Pegadaian harus
mencari dana tambahan dari
lembaga perbankan yang
tarif bunga bersifat komersiel.
Secara bisnis dana talangan dari lembaga perbankan tersebut rugi bila
diperuntukkan pendanaan kredit
kreasi, namun karena dalam
rangka mengemban misi perusahaan maka apa boleh buat hal terjadi. Dilapangan ternyata Kredit yang ditujukan untuk sektor usaha mikro formal/informal ini
ternyata mampu bersaing dengan
paket
kredit UMKM
yang disalurkan oleh
lembaga perbankan maupun
lembaga keuangan BUMN lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar kredit UMKM masih potensial untuk dikembangkan
sebagai amanat dan
perwujudan dari misi
perusahaan yang digariskan oleh
pemerintah.
PENUTUP
Dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Pemerintah menugaskan
BUMN yang berbentuk
Perusahaan Umum (Perum)
untuk turut serta
membantu Pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkuallitas dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
yang sehat. Tugas
tersebut diujudkan sebagai public service obligation (PSO)
memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat dan mencari keuntungan dengan menggunakan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat.
Pegadaian sebagai
BUMN berstatus Perusahaan
Umum (Peraturan pemerintah No.103 tahun 2000) menjalankan
misinya melalui pelayanan penyaluran kredit dengan jamninan gadai & fidusia
kepada masyarakat terutama golongan kecil dan menengah baik untuk UMKM baik yang
berstatus formal maupun informal. Kebijakan yang dilakukan dengan
menerapkan subsiidi silang, artinya
pelayanan kredit gol.A nilai pinjaman kecil dengan bunga rendah disubsidi silang oleh skim kredit gadai dengan tarif bunga
relatif lebih besar dari gol.A dan juga dari kredit kreasi .
Sebagai risikonya
banyak kantor cabang
yang mengalami defisit
karena beban biaya operasional
tinggi dan tidak
dapat melaksanakan kedua misi
PSO dan mencari keuntungan secara
proporsional karena adanya
kewajiban bahwa Perusahaan
harus menghasilkan laba untuk
disetor kepada Pemerintah
sebagai deviden penyumbang pendapatan negara. Konsekwensi pelaksanaan Undang-undang
No. 5 tahun 1999 dan terkait dengan pemikiran Pemerintah
untuk menyusun RUU
Jasa Gadai, menempatkan
Pegadaian dalam posisi sulit, disatu pihak dengan status Perusahaan Umum
(Perum) bilamana tidak dipenuhi
permodalan yang memadai
dari Pemerintah maka
dikhawatirkan akan tidak mampu
berkompetisi penuh dengan
Perusahaan lain pemodal
kuat yang berstatus Perseroan terbatas (PT).
Dalam kredit dengan jaminan gadai
sering dihadapkan pada kasus hukum sebagai Penadah (Pasal 480 KUHPidana) yaitu menerima jaminan dari hasil kejahatan, karena obyek jaminan benda bergerak pada umumnya tidak didukung oleh bukti kepemilikan yang
kuat. Hal ini berbeda dengan jaminan fidusia (Undang-undang No. 42 tahun 1999) pihak kreditur memperoleh perlindung hukum yang
kuat, karena ada ketentuan pidana bilamana pihak Pemilik
barang (debitur) menyalahgunakan obyek
jaminan atau memberikan keterangan palsu mengenai obyek
jaminan.
Mengingat Pegadaian
mempunyai peranan penting dalam membantu Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kecil maka
sebagai konsekwensi dari tugas tersebut, Pemerintah
mempunyai kewajiban membantu
operasional maupun keuangan/permodalannyanya agar tetap eksis dalam
menghadapi persaingan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-undang
Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
2. Undang-undang Nomor
5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
3. Undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia.
4. Undang-undang
Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara.
5. Peraturan Pemerintah
Nomor 103 tahun
2000 tentang Perusahaan
umum (Perum) Pegadaian.
6. Kitab
Undang-Undang hukum Perdata.
7. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
8. Kliping
koran :
· Prospek
Pembiayaan Sektor UMKM 2006; Investor Daily, 28 Desember 2005.
· Arah
Kebijakan BUMN 2006 - 2009; Sunarsip, Invenstor Daily, 12 Januari 2006.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda